Dimuat di koran Pikiran Rakyat, 3 Agustus 2015
Oleh Dr. Hilmi Sulaiman Rathomi MKM,
Perhimpunan Profesi Kesehatan Muslim Indonesia (PROKAMI – IMANI) Wilayah Jawa Barat
Kehebohan
fatwa haram BPJS oleh MUI menyedot perhatian publik yang luas. Selama
tahun 2014, BPJS telah membayarkan layanan kesehatan untuk lebih dari 92
juta orang melalui layanan rawat jalan maupun rawat inap, di klinik
ataupun Rumah Sakit di seluruh pelosok nusantara. Kondisi tersebut
menjadikan BPJS saat ini sebagai concern bersama dan perkembangannya
diamati oleh seluruh rakyat Indonesia. Jumlah orang sakit yang dilayani
oleh BPJS pada tahun perdananya tersebut tentu bukan jumlah yang
sedikit, karena setara dengan lebih dari 3 kali jumlah seluruh penduduk
Malaysia. Dengan semua manfaat tersebut, masyarakat, terutama umat
islam, tentu gempar pada saat mengetahui bahwa layanan yang selama ini
dinikmati adalah haram.
Terminologi
haram sebetulnya tidak terdapat dalam dokumen hasil Ijtima Ulama MUI di
Tegal awal Juni lalu. Istilah yang digunakan dalam dokumen tersebut
adalah tidak sesuai prinsip syariah, sehingga rekomendasinya adalah
membentuk aturan operasional BPJS agar sesuai dengan prinsip syariah.
MUI menilai adanya unsur riba (tambahan), gharar (penipuan), dan maisir
(perjudian) pada aktivitas operasional BPJS dalam menyelenggarakan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Meskipun demikian, pada berbagai
kesempatan, Ketua Bidang Fatwa MUI, KH.Ma’ruf Amin, menyatakan bahwa
meskipun BPJS belum sesuai prinsip syariah, namun karena tergolong dalam
kondisi kedaruratan, masyarakat tetap dipersilakan untuk menikmatinya.
Besarnya manfaat yang dirasakan, adanya ketentuan wajib dari pemerintah,
dan belum adanya alternatif menjadi alasan kondisi kedaruratan
tersebut.
Baca selengkapnya di https://sehatindonesia.id/2018/12/03/bpjs-berprinsip-syariah/